Panduan Praktis: Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan

Berbagai jenis Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan tergantung pada objek dan subjeknya. PPh mencakup pendapatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dapat meningkatkan kekayaan WP, yang bisa berupa perorangan atau badan usaha seperti Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma (Fa), Perseroan Komanditer (CV), dan sebagainya. 

Artikel ini akan membimbing pemahaman mengenai Pajak Penghasilan, mencakup pengertian dan contoh perhitungan PPh sebagai panduan dalam menghitungnya. Tujuannya adalah untuk membantu pembaca memahami lebih baik Pajak Penghasilan.

Apa itu Pajak Penghasilan (PPh)?

Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dasar hukum PPh berasal dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah mengalami beberapa kali perubahan. 

Badan usaha juga wajib memiliki NPWP dan dikenakan PPh atas pengelolaan serta penguasaannya terhadap barang dan jasa. Sementara itu, PPh yang dikenakan pada individu mencakup berbagai sumber penghasilan seperti upah, gaji, tunjangan, honorarium, dan lainnya yang terkait dengan jasa, kegiatan, jabatan, atau pekerjaan. 

Regulasi mengenai PPh untuk individu diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang (UU) terkait perpajakan, khususnya pada Pasal 21. Adapun tarif PPh mengalami perubahan terbaru seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sejak Januari 2022. 

Berikut adalah rincian tarif PPh untuk individu:

  1. WP berpenghasilan kena pajak hingga 60 juta Rupiah: Tarif 5 persen.
  2. WP berpenghasilan di atas 60 juta Rupiah hingga 250 juta Rupiah: Tarif 15 persen.
  3. WP berpenghasilan kena pajak 250 juta Rupiah hingga 500 juta Rupiah: Tarif 25 persen.
  4. WP berpenghasilan kena pajak 500 juta Rupiah hingga 5 miliar Rupiah: Tarif 30 persen.
  5. WP berpenghasilan di atas 5 miliar Rupiah: Tarif 35 persen.

Tarif PPh Badan Usaha juga mengalami kenaikan menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya. Dalam melakukan pelaporan pajak, total penghasilan kotor dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan, termasuk biaya pensiun, hutang, dan kredit bank. Setelah itu, dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (PKP). 

Baca Juga: Cek Tarif PPh 21 Terbaru, Panduan Lengkap dan Detail!

Objek dan Subjek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan (PPh) mencakup berbagai sumber penghasilan yang menjadi dasar bagi pengenaan pajak. Objek Pajak Penghasilan melibatkan berbagai kategori, seperti:

  1. Penghasilan dari pekerjaan atau jasa, termasuk gaji, upah, tunjangan, dan lainnya.
  2. Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan, dan penghargaan.
  3. Laba usaha dan keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta.
  4. Penerimaan kembali pembayaran pajak, bunga, dividen, royalti, dan lainnya.

Subjek Pajak Penghasilan adalah orang atau pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak. Wajib Pajak (WP) adalah orang yang harus membayar pajak penghasilan, dan status WP diperoleh melalui pendaftaran NPWP di Kantor Pelayanan Pajak. Subjek pajak terbagi menjadi beberapa jenis, seperti:

  1. WP Orang Pribadi (OP), yang dapat dibagi menjadi OP Dalam Negeri dan OP Luar Negeri.
  2. WP Badan, yang mencakup badan yang didirikan di Indonesia dan yang melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  3. WP Badan Usaha Tetap (BUT), subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan Pajak

Jatuh tempo pembayaran dan pelaporan pajak merujuk pada batas waktu yang ditentukan oleh pemerintah untuk melakukan pembayaran pajak dan penyampaian laporan pajak kepada otoritas pajak, setiap negara memiliki aturan dan ketentuan tertentu terkait jatuh tempo ini. 

Di Indonesia, jatuh tempo pembayaran dan pelaporan pajak umumnya terkait dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh). Berikut adalah informasi umum mengenai jatuh tempo pajak di Indonesia:

1. Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan

SPT Pajak Tahunan adalah dokumen yang berisi informasi lengkap mengenai penghasilan dan pajak yang harus dilaporkan oleh wajib pajak. Wajib pajak di Indonesia, baik orang pribadi maupun badan, diharuskan menyampaikan SPT Pajak Tahunan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setiap tahun.

Jatuh tempo penyampaian SPT Pajak Tahunan biasanya pada bulan Maret atau April setiap tahun, dengan tanggal pasti yang ditentukan oleh DJP.

2. Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)

Pembayaran PPh biasanya dilakukan sepanjang tahun dalam bentuk pembayaran bulanan atau pembayaran pada saat transaksi tertentu. Pembayaran bulanan biasanya terkait dengan PPh Pasal 21 (gaji dan upah) dan PPh Pasal 25 (penghasilan lain). 

Untuk pembayaran PPh Pasal 21, jatuh tempo biasanya pada tanggal 10 setiap bulan berikutnya setelah bulan pajak berakhir. Pasal 25 umumnya dilakukan pada saat terjadinya transaksi atau penerimaan penghasilan, dan batas waktu pembayaran dapat bervariasi tergantung pada jenis transaksi.

PPh Pasal 26 yang dipotong oleh pemotong pajak harus disetorkan ke kas negara paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pajak berakhir. Pembayaran PPh Pasal 29, terkait dengan penghasilan dari luar negeri, biasanya jatuh tempo pada tanggal 15 bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir.

Penting untuk dicatat bahwa aturan dan jatuh tempo ini dapat mengalami perubahan, oleh karena itu, wajib pajak disarankan untuk selalu memeriksa informasi terbaru dari DJP atau sumber resmi lainnya guna memastikan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku. Jatuh tempo yang terlewat dapat mengakibatkan denda atau sanksi lainnya.

Contoh Perhitungan dan Penggunaan Tarif Pajak Penghasilan

Mari kita lihat contoh perhitungan dan penggunaan tarif Pajak Penghasilan di Indonesia. Perhitungan ini mengacu pada tarif PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) dalam negeri, khususnya PPh Pasal 21 untuk penghasilan berupa gaji dan upah. Contoh Perhitungan PPh Pasal 21:

Data Pribadi Wajib Pajak:

  • Nama: Budi
  • Gaji Bulanan: Rp 10.000.000
  • Tunjangan: Rp 2.000.000
  • Total Penghasilan Bruto: Rp 12.000.000

Langkah-langkah Perhitungan:

  1. Penghasilan Bruto:

Gaji Bulanan + Tunjangan = Rp 10.000.000 + Rp 2.000.000 = Rp 12.000.000

  1. Penghasilan Neto (setelah potongan Tunjangan Kesehatan, Tunjangan Pensiun, dll.):

Misalkan Penghasilan Neto = Rp 11.000.000

  1. Penghasilan Kena Pajak (PKP):

PKP = Penghasilan Neto – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) sebesar Rp 54.000.000 per tahun (2023).

PKP = Rp 11.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp -43.000.000 (PKP negatif, artinya tidak kena pajak).

  1. PPh yang Harus Dibayar:

PPh dihitung menggunakan tarif PPh Pasal 21 sesuai dengan PKP.

Tarif PPh Pasal 21 untuk PKP negatif adalah 0%.

PPh = 0% x (PKP) = 0% x (Rp -43.000.000) = Rp 0

Catatan:

  1. Jika PKP negatif, artinya Wajib Pajak tidak memiliki kewajiban membayar PPh Pasal 21.
  2. PPh Pasal 21 dibayar secara bulanan dan dipotong langsung oleh pemberi kerja.
  3. Tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan kena pajak positif adalah progresif, artinya semakin tinggi PKP, semakin tinggi pula tarif pajaknya.
  4. Contoh di atas hanya memberikan gambaran umum dan sangat sederhana. Perhitungan yang sesungguhnya bisa melibatkan faktor-faktor tambahan seperti potongan-potongan tertentu, insentif pajak, dan lainnya.

Harap diingat bahwa tarif dan aturan pajak dapat berubah sesuai kebijakan pemerintah. Untuk perhitungan yang lebih akurat dan terkini, sebaiknya konsultasikan dengan profesional pajak atau otoritas pajak setempat.

Salah satu jasa konsultan pajak terbaik di Indonesia yaitu Great Performance Consulting yang kami rekomendasikan bagi Anda yang masih bingung terkait perhitungan pajak penghasilan ini. Semoga artikel ini bermanfaat dan terimakasih. 

Bagikan artikel